Angklung merupakan alat musik tradisional Jawa Barat yang sudah terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak bulan November 2010. Tidak hanya tercatatat oleh UNESCO, upaya pelestarian dan memperkenal angklung sebagai warisan Indonesia dilakukan dengan cara memainkan angklung secara bersama-sama dan mencatatkan sebagai rekor dunia. Diantaranya adalah pada tahun 2008 dengan pemecahan rekor pemain angklung sebanyak 11 ribu orang di Jakarta dan 5 ribu orang di Washington DC.
Kemudian pada tanggal 24 April 2015 lalu, tepatnya pada saat peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) yang diselenggarakan di Jakarta - Bandung, sebanyak 20.704 orang bersama - sama memainkan angklung bertempat di Stadion Siliwangi Bandung. Aksi pemecahan rekor dunia dengan tajuk 'Harmony Angklung For The World' yang dilakukan oleh 20.704 orang tersebut diantaranya memainkan lagu-lagu seperti 'Halo-Halo Bandung', 'I Will Survive' dan 'We Are The World'. Yang tak kalah menarik dari pemecahan rekor ini adalah, dari total 20.704 orang pemain angklung, sebanyak 4.117 orang adalah anak berkebutuhan khusus (ABK) yang berasal dari berbagai Sekolah Luar Biasa (SLB) yang berada di Jawa Barat yang terdiri dari siswa disabilitas tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa dan autis yang didampingi oleh 1.000 orang guru pembimbing. Wah.... begitu bangganya kita sebagai Warga Bandung khususnya dan Bangsa Indonesia umumnya dengan semangat masyarakat Bandung dalam memainkan Angklung sebagai alat musik tradisional. Maka dari itu Sobat, sepatutnya adalah menjadi kewajiban kita generasi muda untuk melestarikan angklung sebagai kekayaan budaya Indonesia.
Sejarah dan Asal usul Angklung
Belum ada petunjuk pasti sejak kapan alat musik angklung ini ada, atau sejak kapan angklung dipergunakan oleh masyarakat Jawa Barat. Catatan mengenai alat musik angklung ini, baru muncul sekitar abad ke 12 sampai 16, merujuk pada adanya kerajaan Sunda.
Keberadaan angklung berkaitan dengan masyarakat kerjaan Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari tanaman padi (pare). Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan (adat) masyarakat Baduy yang dipercaya sebagai sisa-sisa kerajaan Sunda, dimana angklung dipergunakan sebagai ritual dalam melakukan penanaman padi. Angklung dibuat dan diciptakan untuk memikat Dewi Sri/Sri Pohaci (Lambang dewi padi) untuk turun kebumi agar tanaman padi rakyat bisa tumbuh subur.
Selain masyarakat Baduy di Banten, permainan angklung gubrag di Jasinga - Bogor, Jawa Barat adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya juga berawal dari ritus padi.
Pada tahun 1862, Jonathan Rigg menuliskan buku "Dictionary of the Sunda Language" yang diterbitkan di Batavia, menuliskan bahwa angklung adalah alat musik yang terbuat dari pipa-pipa bambu, yang dipotong ujung-ujungnya, menyerupai pipa-pipa dalam suatu organ, dan diikat bersama dalam suatu bingkai, digetarkan untuk menghasilkan bunyi.
Dalam perjalanan waktu, alat musik tradisional anglung berkembang dan menyebar keseluruh pelosok nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar